Ayah

Hello friends... kali ini aku mau share dramaku ni...
here we goooo! :)


Naskah Drama
“ Ayah ”
( Suasana sawah di pedesaan pada siang hari.Suara burung berkicau merdu. Nampak seorang petani tinggi, kurus di tengah sawah. Membersihkan rumput di sana. Seorang  gadis SMA berseragam putih abu-abu dengan membawa rantang dan bakul, masuk ke panggung. Wajahnya kusut dan bergumam jengkel, nampak juga saung di sisi kanan panggung )

Cuaca di desa Wangen sangat cerah. Mentari bersinar terik setelah sebelumnya hujan deras. Tanah pertanian di desa ini menjadi lunak dan cocok untuk bercocok tanam. Walau sinar mentari menyulut terik, semangat Pak Bima tidak surut untuk menggarap sawah. Bermandikan peluh, Pak Bima tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai petani, demi memenuhi kebutuhan keluarga. (Panggungdibuka, music : kicau burung dan Seruling).
Ai’        : (berteriak, masuk panggung sambil menghentakkan kaki karena becek) Pak . . . makan !
P.Bima : Oh . . . iya Nduk, sebentar! (masih bekerja)
Ai’        : (duduk di saung, meletakkan rantang serta bakul dan membukanya)
P.Bima: (datang sambil mengelap keringat, tersenyum) Ibu masak apa, Nduk ?
Ai’        : (datar, sambil membuka isi rantang) Ya. . . dilihat sendiri Pak. Biasanya juga masak apa.
P.Bima: (menengok isi rantang dan mencium aromanya) Wah. . . ibumu memang pintar, tahu      kesukaan Bapak. Ayo makan bareng Bapak! (mulai mengambil makanan).
Ai’        : (sambil bermalas - malas) Pak, kapan ya kita makan enak? Kemarin tempe, sekarang tempe, mungkin bedanya kalau kemarin oseng tempe, sekarang tempe goreng, mungkin besok sayur tempe. Makan daging hanya saat hari kurban atau tetangga hajatan.
P.Bima: (sambil menikmati makanan, bergumam) Ya. . . disyukuri saja, Nduk. Belum lama ini kita juga baru motong ayam. Lagi pula terlalu banyak makan daging juga tidak bagus! menasihati), Kata orang-orang pinter, bisa sakit kolesterol, lebih baik makan kangkung dan tempe, sehat, enak, murah lagi.
Ai’        : (meminta pada sang Ayah) Tapi Pak, kadang-kadang Ai’ juga ingin makan-makanan yang seperti diiklankan di TV itu seperti Burger dan Pizza.
P.Bima: (menyela) Nduk, kamu itu bicaranya aneh-aneh. Bule-bule itu kalau ketempat kita carinya yang seperti ini.Kamu malah minta Burger, Pizza. Rasanya juga tidak cocok sama lidah kita.
Ai’        : (memukul-mukul sendok di piring. Cemberut.)
P.Bima: (berusaha mengalihkan pembicaraan) Kamu sudah pulang, Nduk ?Kenapa masih pakai seragam? Apa tidak sekolah ?
Ai’        : Ai’ tidak punya ongkos, Pak! Mau naik angkot tapi uangnya hanya ini (menyodorkan uang 1 lembar dua ribuan dan 1 lembar seribuan). Cukup buat apa? Cuma buat berangkat saja. ( dengan nada meremehkan )
P.Bima: Kan sekolah kamu deket, Nduk. (dengan nada bangga) Bapak dulu sekolahnya saja lebih jauh, dan Bapak hanya jalan kaki. Prihatin . . . ,Nduk . . . ( menekankan nada bicara).
Ai’        : (jengkel dan dengan suara menekan) Bapak, zaman ini sudah berubah, Pak! Zaman dulu itu tidak bisa disamakan dengan zaman sekarang. Beda jauh! Hampir se-ra-tus, de-la-pan pu-luh de-ra-jat.
P.Bima: Nduk, kalau kamu mau prihatin dari sekarang, hidup kamu kedepan itu bakal lebih enak. Orang kalau sudah terbiasa susah, kalau harus bekerja keras jadi tidak banyak mengeluh. Bisa cepet sukses itu, Nduk! (membujuk Ai’ perlahan).
Ai’        : (mengangkat alis dan berhenti makan) Iya juga sih, Pak. Tapi sepertinya kita dari dulu prihatin terus. Tidak pernah sukses. Capek saya jadi orang miskin (meminum air dari botol dan melanjutkan makan).
P.Bima: Ya . . . makannya, Nduk! Kamu yang bisa merubah sendiri nasib kamu. Jangan seperti Bapak. Belajar yang pinter. Jangan sering bolos. Sekolah yang tinggi, nanti kerja di gedung-gedung tinggi gitu. Jadi orang sukses ! (menepuk bahu sang Anak) Ibumu kalau ada waktu senggan dibantuin. Main hp terus, memangnya pulsa tinggal ngaruk.
Ai’        : (matanya berbinar, tersenyum licik) Ya. . . kalau begitu jual sawah saja, Pak.
P.Bima: (terkejut, suaranya meninggi) Yang benar saja, Nduk? Kamu sakit?
Ai’        : (menyela, mengangkat bahu) Tidak . . . sakit apa?
P.Bima: (sedikit gusar) Sawah ini satu satunya harta keluarga kita. Mana mungkin kita jual. Kalau sawah ini tidak kita jual kelak bisa jadi buat kamu. Buat anak cucu kamu juga. Tanah ini lebih berharga dari pada uang. Tanah ini memberi kita kehidupan sampai saat ini.
Ai’        : (meyakinkan Ayah) Iya, tapi kalau kita jual tanah ini kita juga masih bisa makan. Uangnya bisa kitabuat modal usaha. Lumayan, Pak. Siapa tahu sukses.
P.Bima: (menatap Ai’ lekat-lekat sambil memegang pundaknya, dengan nada menekan dan meyakinkan) Uang itu gampang habis. Untuk memulai usaha, kalau cuma tanah ini tidak cukup. Yang ada, usaha tidak jalan, uangnya juga habis (suara gemuruh petir di kejauhan. Pak Bima kembali pada makanannya). Ya. . . sudah lanjutkan makannya! Makan itu tidak boleh sambil ngobrol, nanti kesedak!
Ai’        : (tersenyum hambar) perasaan yang ngajak ngobrol juga bapak (melanjutkan makan).

            Pak Bima beserta Ai’ melanjutkan makan. Gemuruh petir di kejauhan mewarnai suasana sawah yang belum lama tersengat panansnya mentari. Mereka menyelesaikan makan dalam diam. Tidak lama kemudian, Pak Bima segera beranjak.

P.Bima: (Berdiri, mengenakan caping) Ayo bantuin Bapak biar cepet selesai pekerjaannya!
Ai’        : Sudahlah Pak, Ai’ sudah kenyang. Buat Bapak saja. Ai’ mau pulang. (menguap) Ngantuk! Da Bapak . . . (beranjak pergi).
P.Bima: (berteriak) Tidak pamit dulu, Nduk ?
Ai’        : (menepuk dahi, berlari menghampiri Ayahnya kemudian bersalaman pada sang Ayah) Pulang dulu ya, Pak.
P.Bima: Nah, gitu dong. ( tersenyum menahan lelah )
Ai’        : ( pergi meninggalkan sang Ayah )
P.Bima: (berteriak) Bantu-bantu ibu di rumah ya Nduk!
Ai’        : (mengacungkan jempol sambil berjalan pergi) Yo’i Pak!

            Mereka pun berpisah. Sang Ayah berjalan menuju lahan garapan. Tidak berapa lama tubuh Pak Bima tersungkur menghempas tanah. Suasana mendung menyelimuti Desa Wangen saat ini. (music :TanpaKekasih – Agnes Monica)
Ai’        : ( menengok kearah sang ayah, tercengang )
P.Bima  : ( mengelus dada, menarik nafas panjang, sesak nafas, dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.)
Ai’         : ( matanya berkaca-kaca, berlari menghampiri sang ayah sambil berteriak ) BAPAAAAAAK . . . . ( bersimpuh dihadapan ayah, menepuk pipi sang ayah dan berbisik menangis ) bapak …. Jangan pergi pak! BAPAAAAAK . . . ( berteriak, menangis tersedu di hadapan ayah, masih belum percaya )
            Ai’ tersedu sepeninggal sang Ayah. Betapa sakit hatinya menyadari bahwa saat ini ia tidak memiliki ayah lagi. Meskipun ia anak yang agak bebal, namun sebagai seorang anak nalurinya menyadari betapa pentingnya ayah dalam keluarganya.
            Beberapa tahun berlalu. Sawah yang dulu terlihat begitu subur ditumbuhi tumbuhan padi atau palawija, kini terlihat terbengkalai. Istri Pak Bima kini mulai sakit-sakitan dan Ai’ tidak begitu tertarik untuk menjadi petani seperti ayahnya. Ai’ telah lulus sebagai sarjana dari fakultas pertanian ternama.  Ai’ kemudian mencoba menawarkan tanah keluarganya  untuk disewakan. Beberapa investor tertarik untuk menyewa tanah tersebut, dan salah satunya adalah Pak Tyo. Seorang yang bijaksana dan murah hati.
(Suara mobil terdengar kemudian muncul Pak Tyo kedalam panging  sambil melihat-lihat tanah Pak Bima.)

P.Tyo   : Lahannya luas, daerah sekitarnya juga cukup asri. Kontur tanahnya bagus dan cocok sekali. Kebetulan ada satu proyek lagi. Mendirikan pabrik pengolahan tembakau. Sepertinya dari pada tempat ini jadi kebun tembakau,       lebih baik jadi pabriknya. (bergumam sendiri)
(Terdengar suara mobil yang datang dan terdengar lirih suara pintu mobil tersebut menutup.)
P.Tyo   : (menoleh arah suara)
Ai’        : (datang terburu-buru) maaf pak, tadi ada sedikit masalah dijalan.
P.Tyo   : Tidak apa-apa Bu Aini. Saya baru selesai melihat lihat tanahnya. Lahan sepertinya sesuai dengan yang saya inginkan bahkan saya menginginkan tanah ini dijual untuk didirikan pabrik.
Ai’        : Syukurlah kalau bapak suka, tapi saya berharap tanah ini tetap dipakai sebagai lahan    pertanian pak (memandang gusar).
P.Tyo   : Memangnya ada apa bu ?
Ai’        : (terdiam dan berjalan menuju saung sambil melamun)
Luthfi   : (menatap aneh sambil menghampiri Ai’) ada apa bu?
Ai’        : (mengusap air mata berusaha tersenyum) Saya tidak apa-apa. Saya hanya teringat        dengan Bapak saya. Dulu bapak pernah berpesan kepada saya tentang sawah ini sesaat sebelum bapak pergi.
P.Tyo   : Maaf kalau boleh tau, apa pesan bapak Ibu Ai’?
Ai’        : Bapak berpesan kepada saya supaya tidak menjual sawah ini jika bapak meninggal suatu saat nanti. Apalagi jika sampai tanah ini dijadikan mall atau gedung lainnya. Bapak juga mengingatkan kepada saya tentang arti penting dari tanah keluarga kami ini.rencananya saya akan menyewakannya agar lebih berguna. Daripada terbengkalai seperti ini bu. Tapi sesuai permintaan bapak saya, saya hanya membolehkan tanah ini untuk di jadikan perkebunan saja.
P.Tyo   : Wah saya terkesan dengan ibu. Saat ini jarang sekali menemukan orang seperti ibu.      Biasanya orang-orang kalau mempunyai tanah seperti ini, akan mereka jual dengan          harga mahal tanpa memikirkan penggunaan tanahnya tersebut. Yang penting mereka         mendapat uang banyak. Baik bu, saya berminat dengan tanah yang ibu miliki ini.        Masalah harga buat kami bukan masalah asal wajar saja ya bu (sambil tertawa ringan).
Ai’        : Oh syukur jika bapak setuju dengan hal yang saya sebutkan tadi semoga kerja sama ini             akan menguntungkan kita semua nantinya.
P.Tyo   : Iya bu. Bapak ibu pasti bangga disana melihat ibu masih mengingat pesannya. (Handphone berdering dan mengangkat telepon) oh iya saya pamit dulu sebentar. Bu Ai’ kebetulan saya sudah di tunggu oleh rekan bisnis saya. Masalah pembayaran dan yang lainnya kita bicarakan besok saja. Besok saya akan kembali kesini. Mari bu (bersalaman dengan Bu Ai’)
Ai’        : Oh iya pak. Hati-hati di jalan ya Pak!
            Ai’ akhirnya menyewakan tanah tersebut pada pak Tyo. Iya tidak melupakan pesan ayahnya untuk tidak menjual atau menggunakan tanah tersebut untuk kepentingan yang merugikan lingkungan. Pak Luthfi pergi keluar dari panggung, Ai masih sendiri di atas panggung menerawang jauh. Musik (Ayah).

Sutradara                    : Jovi Bima Novandika
Narator                       : Kiki Rahmawati
Penata Laksana           : Luthfi Prasetyo Nugroho



Pemeran                     : Novia Nuraini sebagai Ai’
                                    Jovi Bima Novandika sebagai Pak Bima
                                    Luthfi Prasetyo Nugroho sebagai Pak Tyo

Comments