Berikut
merupakan refleksi perkuliahan Filsafat Pendidikan S1 bersama Prof. Dr.
Marsigit, M.A. di gedung perkuliahan PPG 1 (Laboratorium FMIPA UNY)
Nilai
kebenaran filsafat merupakan adanya
sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Benar menurutku itu subjektif, benar
menurut kita merupakan objektif, benar dalam fikiran itu merupakan ideal, benar
diluar fikiranku merupakan realis. Kebenaran Tuhan absolut, kebenaran dunia
relatif. Kebenaran fikiran merupakan konsisten atau koheren. Kebenaran persepsi
adalah korespondensi/ cocok. Kebenaran para dewa merupakan para logos.
Kebenaran para daksa ada pada faktanya. Kebenaran subjek pada predikatnya.
Kebenaran predikat ada pada subjeknya. Kebenaran kapital merupakan modalnya
(yang punya modal dan saham yang paling besar yang benar). Kebenaran
pragmatisme adalah praktisnya. Kebenaran spiritualisme adalah firman Tuhan.
Kebenaran
dunia itu relatif, seperti halnya pesawat, Jakarta-Tokyo itu kelihatannya
lempeng lurus tenang diatas awan. Padahal sebenarnya pesawat itu bergerak
melengkung. Karena adanya relatifitas maka kita menganggapnya sebagai lurus
lempeng begitu saja.
Kemudian
berkaitan dengan nilai nilai kebenaran ada muncul filsafat falibism dan
nihilisme.
Falibism
merupakan kebenaran dibalik yang salah. Kita salah itu benar, mungkin karena
memang dimensi yang belum seharusnya. Misal dosen memberikan soal yang teramat
sulit agar siswa nya tidak mampu sombong. Biasayanta anak muda penuh dengan
potensi kesombongan. Sehingga kesalahan kita merupakan sesuatu yang bernilai
benar.
Pentingnya
guru mempelajari filsafat adalah untuk menjadi seseorang yang lebih bijak
menghadapi siswanya. Dunia siswa merupakan dunia menjawab salah, sehingga guru
harus belajar filsafat agar mampu bijaksana dalam menghadapi sifatnya. Dengan
falibism, guru agar lebih bisa legowo dan memahami siswanya.
Di
Indonesia ini banyak guru yang menjadi stress jika nilai siswa jelek dan
mendongkraknya dengan cara yang kurang tepat saat ujian nasional. Ironis sekali
jika memikirkan hal ini. Sehingga ujian nasional malah menjadi ajang kegiatan
yang kurang baik dan memaksakan psikologi siswa. Belajar hafalan dan hanya akan
menguap setelah ujian selesai. Ini menjadi ironisnya pendidikan di Indonesia.
Filsafat
dari nol adalah nihilisme, yakni ketiadaan. Pada dasarnya manusia itu hampa,
tiada. Dalam keagaamaan nihilisme ini juga bisa menaikan kita dimensi yang
sesudahnya. Misalnya, tiada nafsu, tiada amarah, tiada yang ingin dilakukan
lagi, tiada lagi cita cinta yang ingin digapai, kemudian naiklah ke nirwana.
Comments
Post a Comment